KENDARI - Kepala Desa Morombo Pantai M. Aras diduga melakukan Pungutan Liar (Pungli) terhadap perusahaan tambang yang melakukan aktivitas penambangan di Desa Morombo Pantai, Kecamatan Lasolo Kepulauan, Kabupaten Konawe Utara, Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra).
Hal tersebut disampaikan oleh Gubernur Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Lumbung Informasi Rakyat (LIRA) Karmin melalui Sekertaris Wilayah (Sekwil) DPW LIRA Heri Tri Aji saat ditemui di salah satu warkop di Kota Kendari, Sulawesi Tenggara. Minggu (11/04/2021).
Baca juga:
Aplikasi Smart Desa Resmi Diluncurkan
|
Menurut Heri, Kepala Desa Morombo Pantai dalam hal ini M. Aras kami duga melakukan pungli kepada perusahaan pemilik IUP yang berada di wilayahnya. Itu kami ketahui setelah kami melakukan investigasi ke lapangan di Desa Morombo Pantai.
"Perusahaan tersebut di minta menyetor Rp 10 juta per tongkang dengan alasan untuk Corporate Social Responsbility (CSR) dan itu sudah berlangsung lama, " kata Heri.
"Lebih ironisnya lagi untuk tahun 2021 ini Kepala Desa Morombo Pantai justru malah menebitkan Peraturan Desa (Perdes) yang mengharuskan pihak perusahaan tambang membayar Rp 25 juta per tongkang. Di mana pada pasal 12 ayat 4 dalam Perdes tersebut dikatakan "Dalam hal wajib pungut tidak membayar biaya pungutan tepat pada waktunya atau kurang dalam pembayaran, maka dikenakan sanksi berupa penundaan atau penghentian usaha atau aktivitas sampai wajib pungut melunasi kewajibannya, " sambungnya.
Menurut kami, lanjut Heri, apa yang dilakukan oleh Kepala Desa Morombo Pantai sangat bertentangan dengan Undang-Undang No. 04 tahun 2009 pasal 162 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 03 tahun 2020 tentang Minerba. Dengan perdesnya seorang kepala desa mau memberhentikan kegiatan penambangan yang kami nilai jauh melewati kewenangannya, seharusnya perdes tidak bertentangan dengan undang - undang yang ada di atasnya, yang sangat jelas bertentangan dengan undang-undang minerba.
"Pungutan yang ditetapkan desa melalui Perdes harusnya dikonsultasikan dengan kepala daerah melalui biro hukum sebelum disahkan, itu jelas tertuang dalam peraturan menteri No. 1 tahun 2015 tentang pedoman kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala desa. Pasal 23 disebutkan yang boleh dilakukan pungutan oleh desa yaitu, jasa usaha seperti pemandian umum, pasar desa dana yang bisa bagi hasil bagi pengembangan usaha yang dikerjasamakan, " tandasnya.
"Jadi jika pungutan tidak sesuai ketentuan dimaksud tadi, maka patut diduga melanggar praktik Pungutan Liar (Pungli) sesuai pasal 368 dan pasal 423 KUHPidana, " tambahnya.
Lanjut Heri, kami dari DPW LIRA tidak mempermasalahkan terkait apa yang dilakukan kepala desa selama itu betul-betul bertujuan untuk kepentingan masyarakat dan sesuai dengan prosedur. Namun yang terjadi selama ini itu diduga terindikasi hanya untuk memperkaya diri sendiri dan tidak sesuai prosedur.
"Perlu diketahui terkait CSR itu merupakan kewajiban perusahaan yang harus diberikan dalam bentuk program pembinaan dan pemberdayaan masyarakat setempat dan tidak diberikan dalam bentuk pungutan berupa uang, dan laporannya harus jelas, " umbarnya
Dan juga masih Heri, besaran dana CSR perusahaan setiap tahun baik itu dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas (PT) maupun dalam Peraturan Pemerintah (PP) 47/2012 selaku peraturan pelaksanaan tidak mengatur spesifik besaran minimal dana yang wajib dialokasikan untuk Tangung Jawab Lingkungan (TJL). Dan pasal 47 ayat (2) Undang-Undang 40/2007 hanya mengatur bahwa Tanggung Jawab Sosial Lingkungan (TJSL) merupakan kewajiban PT yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya PT yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatuhan dan kewajaran. artinya anggaran untuk program CSR harus di dudukkan bersama antara pemerintah dengan pihak perusahan untuk mencapai kata sepakat, bukan dengan cara langsung menetapkan nilai.
"Itu baru kasus pungutan Rp 25 juta per tongkang, belum lagi dengan kasus di mana Kepala Desa Morombo Pantai juga diduga melakukan pungutan dengan memasang portal di jalan yang kami duga merupakan jalan kabupaten, bukan jalan desa. Jadi mobil yang melalui jalan tersebut dikenakan biaya dengan rincian Trapling alat berat sebanyak Rp 100.000, Transportasi Dump Truck Rp 50.000, Transportasi Mobil Tangki Bahan Bakar Rp 100.000, Transportasi Mobil Box Rp 50.000, Transportasi Pemuatan Kayu Rp 75.000 per 1 kubik, Transportasi Mobil LV (Bermuatan Berat) Rp 5000, Transportasi Mobil Pemuat Alat Berat Rp 150.000, itu semua dibayar dalam per 1 hari melintas. Sementara untuk Transportasi Laut Kapal Minyak Rp 500.000 per 1 Minggu Bersandar. Dan sepengetahuan kami jalan tersebut adalah jalan kabupaten jadi yang berhak memungut adalah pihak kabupaten, " jelas Heri.
"Berdasarkan hasil investigasi tersebut kami dari DPW LIRA akan menyurat ke instansi terkait agar permasalahan ini diproses dan diselesaikan sesuai dengan hukum yang berlaku, " pungkasnya.
Sehubungan dengan hal tersebut Kepala Desa Morombo Pantai M. Aras saat dikonfirnasi via sms oleh media ini menjelaskan bahwa, perdes itu dibuat oleh bpd dan pemerintah desa, kemudian dilanjutkan ke Pemda untuk minta persetujuan. Jadi pak, Perdes itu dibuat bukan payung pungli. Jelas. Kamis (15/04/2021)
Hampir senada yang disampaikan ke Sekwil LIRA saat di konfirmasi via sms, dimana kepala Desa Morombo Pantai M. Aras mengatakan kalau perdes itu pak tidak dibuat sendiri kepala desa, tapi dibahas dulu Bpd, Pemdes, masyarakat dan pin perusahaan. Baru kita sahkan untuk diberlakukan. Perdes bukan dibuat untuk menjadi payung pungli pak.