JAKARTA - Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto meminta pemerintah realistis terkait program energi hijau. Sebab proses alih teknologi energi fosil ke energi hijau membutuhkan dana yang sangat besar. Ia menekankan, jika pemerintah tidak berhati-hati, bukan tidak mungkin dapat menimbulkan krisis energi seperti yang pernah dialami negara-negara maju beberapa waktu lalu.
“Karena faktanya kita butuh waktu dan butuh dana yang besar untuk melakukan transisi teknologi dari energi fosil ke Energi Baru Terbarukan (EBT), " ujar Mulyanto dalam siaran persnya, Selasa (23/11/2021).
Ia juga mendesak pemerintah agar hati-hati dalam implementasi Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 yang konon sangat green. Jangan sampai Indonesia termakan oleh optimisme overdosis atau sekedar tebar pesona terhadap transisi energi ini. Sebab yang akan menjadi korban adalah tarif listrik yang menonjak atau beban subsidi yang meroket.
“Pemerintah harus menyiapkan proses transisi energi itu secara bertahap dan prudent. Jangan terlalu ambisius tanpa dasar, ” tegas politisi Fraksi PKS itu.
Dijelaskan Mulyanto, pemerintah memang harus meningkatkan bauran EBT. Apalagi isu energi hijau ini sudah menjadi agenda dunia. Namun pelaksanaannya harus cermat, agar biaya pokok pembangkitan (BPP) atau tarif listrik tidak ikut naik. Kalau ini terjadi, akibatnya rakyat juga yang jadi korban.
Sesuai RUPTL 2021-2030, dimana porsi EBT akan mencapai 52 persen, maka BPP PLN akan naik dari Rp1.423 per kWh pada tahun 2021 menjadi Rp1.689 per kWh pada tahun 2025. Beban tambahan untuk subsidi dan kompensasi akan membengkak dua kali lipat lebih, dari Rp71.9 triliun pada tahun 2021 menjadi Rp182.3 triliun pada tahun 2025.
Baca juga:
Alokasi Kompensasi Energi Untuk Siapa?
|
"Apakah pemerintah punya uang untuk menanggung beban ini? Jangan juga beban ini dialihkan ke rakyat, sehingga menghasilkan listrik yang mahal. Sekarang saja tarif listrik pelanggan rumah tangga di Indonesia hampir dua kali lipat dari tarif listrik di Malaysia. Karena bagi masyarakat yang dibutuhkan adalah tarif listrik yang terjangkau. Bukan listrik bersih, tapi mahal, " tambahnya.
Dari sana Mulyanto mendorong pemerintah mengembangkan EBT di wilayah-wilayah defisit energi. Jangan mengembangkan EBT ini di wilayah surplus energi, seperti Jawa dan Sumatera. Ini akan mubazir dan menyebabkan biaya yang harus ditanggung oleh PLN semakin membengkak.
Ia berharap Pemerintah jangan mau didikte oleh negara maju. Negara raksasa PLTU seperti China, India dan Amerika saja tidak berkomitmen untuk penghapusan PLTU ini. Juga komitmen dana yang 100 milyar dolar AS dari negara maju untuk negara berkembang. Selain terlalu kecil, realisasinya juga belum jelas.
“Kita harus komit pada kepentingan bangsa terkait ketahanan energi nasional, menyediakan energi yang cukup, murah dan syukur-syukur bersih. Jangan membebani rakyat dengan tarif listrik yang mencekik, ” pungkasnya. (ayu/es)